Thursday, November 1, 2018

Hatiku tertinggal disana: di Papua

Kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman solo trip selama 4 hari di Provinsi Papua. Salah satu tujuan utamanya ialah mengunjungi perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini.
Diawali dengan penugasan dari kantor untuk pergi mewakili meeting project di Bank Papua. Tanpa basa-basi, sayapun mengiyakan. Namun, atasan saya mengatakan bahwa penugasan kali ini hanya PP karena meetingnya tidak terlalu lama dan kompleks. Saya sendiri tidak percaya, karena ke Papua itu sangatlah jauh dan lama.
Akhirnya saya mencoba bernegosiasi. Setelah pekerjaan selesai, saya minta extend waktu selama 3 hari disana. Izinpun didapatkan, namun dengan beberapa syarat. Sempat berfikir lama dan akhirnya saya mengiyakan, dengan resiko pesawat pulang dan biaya selama disana ditanggung pribadi.
Waktu yang ditunggu-tunggupun akhirnya tiba. Berangkatlah saya. Perjalanan Jakarta-Papua itu lebih kurang 6 jam. Saat transit di Makasar, saya berbincang lama dengan salah satu penumpang yang tujuannya juga ke Papua. Namanya Abhy Malawar. Beliau adalah wanita asli keturunan Papua, berkulit putih, dan beragama islam. Perbincanganpun semakin akrab, saya memberanikan diri meminta nomor kontak beliau.
Perjalanan masih berlanjut dan akhirnya saya tiba di Bandara Sentani Jayapura. Papua itu keren sekali. Mau mendarat saja, saya disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau yang cukup dekat dengan bandara. Tak heran jika Papua mendapat sebutan Mutiara Hitam, walaupun hitam tetap memukau.
Senang sekali rasanya bisa sampai di Papua. Bisa dibilang ini adalah destinasi yang mungkin akan menjadi PR selama hidup saya, tapi Allah sungguh pengatur rencana yang sangat baik, bersyukur. Saya kemudian menyewa mobil dan menuju ke Bank Papua. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dengan suasana sekelingnya sungguh luar biasa. Papua, I’m Here.
Tiba siang hari, lalu saya langsung mengikuti rapat. Setelah selesai, saya diberi kejutan lagi. Bahagia sekali rasanya.
Foto oleh: @fahmidumbo
Ada yang kenal? Beliau adalah Stevie Bonsapia. Mantan pemain Timnas dan Persipura. Bagi pencinta sepakbola, ini kejutan menyenangkan karena bisa bertemu langsung di tempat asalnya. Kami berdua hitam manis toh?
Oke lanjut. Muncul hal yang paling berat bagi saya, karena sama sekali belum mencari penginapan, mengatur rundown, dll. Jujur saja, ke Papua sendirian tanpa ada orang yang dikenal itu membuat mental saya down.
Saya kemudian berhenti di Warung Kopi. Penjualnya adalah orang Bugis. Just Info, di Jayapura mayoritas pedagang adalah pendatang seperti dari Bugis, Jawa, Padang, dll. Berkali-kali sang pemilik warung berkata kalau saya orang Bugis, sama seperti beliau. Padahal saya kan orang ganteng hehehe. Sambil menikmati Kopi seharga 12 ribu dan Kue Sagu seharga 8 ribu, saya bebincang dan mencari informasi penginapan murah.
Kemudian saya menuju penginapan tersebut. Bangunan yang sangat sederhana, namun harganya 275 ribu. Lumayan menguras kantong. Tak apa, dari pada tidur di depan ruko. Setelah Check In, saya Shalat Ashar. Berbeda dengan di Bali, di Papua sangat mudah menemukan Masjid. Namun, akhir-akhir ini permasalah Sara terutama Masjid sedang hangat. Entah itu karena masalah speaker atau yang lainnya. Jadi, saya tetap harus berhati hati.
Saya kemudian berniat menuju Jayapura City, yaitu view point untuk melihat Kota Jayapura dari ketinggian. Kemudian saya menaiki angkutan umum (masyarakat setempat menyebutnya taksi) menuju kesana. Ada rasa minder ketika berjalan sendirian. Saya selalu diperhatikan oleh orang asli sana. Mngkin ini,arena saya juga sering memperhatikan orang Papua saat sedang di Jakarta.
Foto oleh: @fahmidumbo
Waktu mulai larut, saya berniat kembali ke penginapan. Setelah turun dari angkot dan berjalan beberapa meter,  perasaan saya mulai tidak enak. Saya melewati warung-warung yang menjual minuman.
Ternyata saya benar. Ada pemuda Papua yang sedang mabuk dan bertanya pada saya. Jeng jeng jeng dan akhirnya saya kena palak 20 ribu.
Just Info, disana sangat banyak warung minuman. Tak perlu heran kalau setiap harinya selalu liat org mabuk. Tetap usahakan jangan jalan sendirian.
Setelah sampai di penginapan, saya mempersiapkan perjalanan untuk besok yaitu menuju perbatasan Papua Nugini.
Saya mengontak rental sepeda motor, karena bila sewa mobil kesana harganya sangatlah istimewa. Sewa motor satu hari disana 175 ribu, sedangkan mobil 700/800 ribu dengan driver dan bila lepas kunci sekitar 500/600 ribuan.
Esok hari tiba. Saya memulai perjalanan ke perbatasan Papua Nugini, tepatnya di daerah Skouw. Ditemani hujan kecil yang tak berhenti sejak malam, saya mengisi bensin dan mengisi satu buah botol air kemasan untuk cadangan bila sewaktu-waktu ada kendala. Harga bensin disana sudah sama dengan harga di Jakarta, jadi tidak lagi menyulitkan seperti dulu yang perbedaan nya 2-3 ribu.
Perjalanan dimulai. Pemadangan luar biasa disepertiga jalan, disuguhi pemandangan pesisir laut Papua yang sangat cantik. Untuk sinyal, Telkomsel adalah Juaranya.  Walaupun kadang di beberapa tempat selalu hilang.
Itu yg saya rasakan. Ketika tak ada sinyal,  maps pun tidak mau load. Saya nyasar ke sebuah tempat yang suasanya hutan belantara, walaupun jalanannya sudah aspal semua. Sempat berhenti selama 15 menit, ada sepeda motor menghampiri saya dan bertanya.
“Hey kaka sedang apa sendirian disini?”
“Saya mau menuju skouw pace”
“ko salah jalan, ini jalanan rawan kakak, seharusnya ko belok setelah pasar”
Akhirnya saya balik arah. Sempat mengurungkan niat kesana, karena jalanan terbilang rawan dan sering terjadi kontak senjata antara Tentara dan OPM.
Tapi kadang rasa penasaran itu mengalahkan segalanya. Saya kembali melanjutkan perjalanan. Di beberapa area, saya wajib mempercepat kecepatan. Begitu kata pace yg menolong saya tadi. Sepanjangan perjalanan, banyak sekali pos tentara berbendera Indonesia.
Jeng jeng…akhirnya setelah 2 jam lebih, saya tiba di Distrik Skouw. Sebentar lgi sampai ke perbatasan. Tiba di perbatasan saya bahagia sekali,  masih berasa mimpi saya bisa kesana. Sebelum masuk, saya dimintain identitas oleh pos penjaga tentara. Salah satu tentara berbincang dengan saya, dia berasal dari Jakarta dan tinggal di Kwitang. Tetanggaan kita boskuh!
Foto oleh: @fahmidumbo
Keadaan disana sepi sekali. Akhirnya mau tidak mau, saya mengeluarkan tripod sebagai bantuan untuk dokumentasi. Kemudian saya mencoba masuk ke perbatasannya. Ketika ditanya petugas, saya bilang mau lihat-lihat saja. Saya tak perlu lapor imigrasi, keluar negeri ga pake Visa coy.
Foto oleh: @fahmidumbo
Penjagaan tidak begitu ketat karena biasanya orang Papua Nugini sering belanja di Pasar Skouw dan bertransaksi memakai rupiah.
Foto oleh: @fahmidumbo
Perbatasan Indonesia jauh lebih megah dibandingkan negara tetangga, dan seharusnya memang begitu sebagai garda terdepan.
Foto oleh: @fahmidumbo
Kemudian saya bertanya kepada petugas pos Papua Nugini, beliau menjawab dengan Bahasa Inggris dengan aksen seperti Portugis, “Half Past Ten”. Setelah dibuka, saya pun masuk dan mengisi identitas. Bahagianya bisa menginjakan kaki di negara tetangga. Melihat-lihat sebentar, saya pun tak berani masuk lebih jauh. Takut nyaman. Setelah puas sekali mengambil dokumentasi,  saya akhirnya pulang ke Jayapura.
Foto oleh: @fahmidumbo
Sekitar pukul 3 sore, saya sampai di Jayapura, mengembalikan motor dan menuju daerah Sentani. Mencari info angkutan umum, ternyata harus sambung 3 kali angkutan umum. Setelah sampai, mendapatkan penginapan yang harganya jauh lebih murah. 200 ribu per malamnya.
Pagi harinya, saya mencari ojek untuk menuju pelabuhan Khalkote, kemudian ke kampung air di Danau Sentani. Namanya Kampung Ayapo. Nego harga, kemudian saya meminta beliau menjadi Guide saya. Beliau dengan ramah menerimanya, walaupun harga ojek dan Guide seharga 300 ribu.
Just info lagi, buat teman-teman yang sama sekali belum pernah datang ke sebuah daerah, tukang ojek atau angkot adalah salah satu guide terbaik.  Tapi tetap selektif ya, jangan sampai ditipu.
Setelah sampai di pelabuhan, Pace Kogoya mencarikan kapal. Harganya cukup istimewa yaitu 200/jam. Saya langsung meminta di carikan kapal nelayan saja, karena orang nya juga tidak banyak. Setelah mencari, dapatlah kapal seharga 80 ribu/jam. Berangkatlah kami menuju Kampung Ayapo.
Foto oleh: @fahmidumbo
Sampai disana, kami bermain bersama anak-anak. Mereka sangat menyukai permen dan saya sudah mempersiapkannya.
” kaka ini lebih enak dari pinang toh”
” betul adik, apalagi meminang”
Saya juga mengunjungi bukit di sebelah selatan Sentani. Entah apa namanya, tapi Pace Kogoya mengajak kesana. Sekitar 1 jam, kami tiba parkiran sepeda motor dan tiba di view pointnya. Setelah selesai di sana, saya kembali ke penginapan. Saya mengucapkan terimakasih kepada Pace karena sudah banyak membantu. Saya senang dengan keramahan beliau.
Perencanaan di hari terakhir yaitu mengunjungi Bukit Mc Arthur dan Teluk Youtefa. Bukit Mc Arthur berada di kawasan tentara,  jadi bila kesana kita perlu lapor diri. Namun saya ditolak, karena sedang ada kegiatan. Sayang sekali, padahal saya sudah membayangkan indahnya melihat pemadangan dari atas sana.
Saya pun pergi ke pantai di Jayapura. Pantai di kota, yang saya rasa lumayan sangat bersih. Saya hanya menikmati suasananya sambil minum kelapa dengan harga 35 ribu. Aaauuuss.
Saya menemui kembali kakak Abhy Malawar, yang bertemu di pesawat. Katanya beliau mengajak saya ke sebuah distrik. Beliau ternyata pengajar di salah satu taman bacaan. Kejutan lagi bagi saya, tanpa ragu saya mengiyakan.
Sampai disana, saya fikir beliau mengajar. Namun karena ada kegiatan desa, kegiatan mengajar diliburkan. Alhasi, saya di suguhkan penampilan yg belum pernah saya temui. Dan akhirnya sayapun diantar beliau ke bandara. Senang rasanya bertemu beliau yang baik hati. Salah satu anugerah bisa tambah keluarga di daerah-daerah.
Disebuah lirik “Sa Pu Hati,  Su tatinggal di gunung gunung, di lembah lembah di papua”. Dan benar adanya, hati saya tertinggal disana. Perjalanan yang membuat saya sangat tak akan lupa, Terimakasih Papua.

0 comments:

Post a Comment

 
Luffy - One Piece